GURU PROFESIONAL?
GURU PROFESIONAL?
Oleh :
GUNAWAN
Definisi guru diatur dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. (Pasal 1 ayat 1)
Salah Satu peryaratan
adminstrasi agar dapat menerima Tunjangan Profesi Guru adalah harus memenuhi beban
tugas mengajar minimal 24 jam pelajaran perminggu dan sesuai dengan mata
pelajaran sertifikat yang dimilikinya. Artinya jika seorang guru mengajar 32 jam
pelajaran dalam seminggu dengan perincian untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
20 jam (di sebahagian daerah tingkat dua ada yang membuat Mata pelajaran Bahasa
Indonesia 5 jam perminggu / kelas) dan Seni Budaya 12 jam pelajaran, sedangkan
guru tersebut mempunyai Sertifikat dengan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia maka
sang guru dengan besar hati harus rela untuk tidak dapat menerima Tunjangan
Profesi. Dikatakan tidak 24 jam “linier”.
Memang baru baru ini ada keputusan
bersama 5 menteri tentang
PENATAAN DAN
PEMERATAAN GURU PEGAWAI NEGERI SIPIL
Namun ini tidak menjawab dari
permasalahan pemerataan guru yang sesuai dengan sertifikat dari mata pelajaran yang
dimiliki guru guru di sekolah. Karena pada umumnya kelebihan guru yang
mempunyai sertifikat mata pelajaran tertentu di satu sekolah, untuk sekolah
lain demikian juga. Dan kekurangan guru yang bersetifikat mata pelajaran
tertentu di satu sekolah, sekolah yang lain kekurangan juga. Walaupun memang
diperbolehkan seorang guru mempunyai sertifikat lebih dari satu tapi itu untuk
apa?
Berbicara tentang “Profesional
Guru” yang hanya diakui mengajar pada
mata pelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran dari sertifikat yang
dimilikinya bisa diibaratkan dengan seorang dokter spesial kandungan tidak
dibenarkan dan tidak diakui jika dia menolong atau mengobati orang yang
mempunyai masalah dengan telinga. Atau seorang penyidik hukum pidana tidak dibenarkan
jika dia menyidik masalah perdata.
Saya contohkan saja seperti di
sekolah tempat saya mengajar.
Sekolah kami mempunyai 20
rombongan belajar, semuanya belajar pagi. Yang mempunyai Sertifikat Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia ada 10 guru, pelajaran Bahasa Indonesia dalam
seminggu perkelas 5 jam pelajaran. Jika dibagi rata berarti setiap guru yang
mempunyai Sertifikat Mata Pelajaran Bahasa Indonesia mengajar 10 jam pelajaran.
Sedangkan guru yang mempunyai sertifikat mata pelajaran Seni Budaya ada 1 orang
guru, seni budaya perminggu 2 jam pelajaran perkelas (KTSP), dengan demikian ada
8 rombongan belajar tidak mempunyai guru Seni Budaya karena guru lain tidak mau
mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang tertera
pada sertifikatnya disebabkan tidak diakui oleh “orang orang pembuat peraturan
sertifikasi guru”. Walhasil Guru yang mempunyai sertifikat mata pelajaran
Bahasa Indonesia tidak ada yang menerima tunjangan profesi guru. Begitu jugalah
untuk mata pelajaran yang lain, seperti Bimbingan Konseling, para peserta didik
tidak mempunyai pembimbing, karena semua
guru tidak bersedia menjadi guru pembimbing mereka karena tidak diakui di jam linier dan sekolah
harus mencari tenaga honorer lain sedangkan dana yang boleh dikeluarkan untuk
honor, tenaga honorer dan PNS sebesar 20% dari dana BOS (tahun 2015 sudah menjadi 15%).
Yang dikatakan “guru
profesional” itu hendaknya tidak hanya mampu mengajar satu mata pelajaran saja.
Seorang Guru IPA misalnya selayaknyalah dia bisa mengajar Matematika, atau guru
Bahasa Indonesia sepantasnya dia bisa mengajar Seni Budaya karena di Bahasa
Indonesia ada pelajaran Drama dan puisi bahkan pada umumnya seorang guru sebenarnya memang menguasai
beberapa mata pelajaran.
Kita kembali ke UU tentang Guru
bahwa :
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, ...........”
Jadi sebenarnya seorang guru harus mampu membimbing
peserta didiknya dan tugas itu bukan hanya mampu dilaksanakan oleh guru yang
mempunyai sertifikat pendidik dengan mata pelajaran “Bimbingan Konseling” saja.
Seandainya pembuat
kebijakan tentang guru penerima tunjangan profesi guru lebih bijaksana lagi
maka akan terselamatkanlah sekolah sekolah dari ketimpangan ketimpangan yang
sedang terjadi belakangan ini di banyak sekolah di Indonesia. Yang layak untuk
menentukan mata pelajaran apa yang harus diajarkan oleh seorang guru di
sekolahnya adalah Kepala Sekolah setempat. Ini berkaitan dengan banyak hal
seperti kemampuan dan keberadaan guru.
Sertifikat Guru tetap
diperlukan, tapi sesuai dengan namanya “Sertifikat Guru” dan itu dikaitkan
dengan tugas utama seorang guru pada UU Guru. Alangkah baiknya jika pembuat
peraturan yang berkaitan tentang guru adalah dari kalangan guru yang telah
mempunyai pengalaman menjadi guru di
sekolah. Dengan demikian pemasalahan nyata sudah pernah dialaminya sendiri.
Solusi permasalahan yang utama adalah setiap guru
diakui mengajar mata pelajaran lain selain mata pelajaran yang tertera di
sertifikatnya. Namanya juga guru, “guru profesional” itu bukan hanya mampu mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih pada satu mata pelajaran saja,
sebenarnya.
Binjai, 09/03/14
Komentar
Posting Komentar